LPP RADIO REPUBLIK INDONESIA BOGOR  
 
  Sejarah LPP RRI 03/15/2025 4:08am (UTC)
   
 

Dengan disahkannya Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, RRI saat ini berstatus Lembaga Penyiaran Publik. Pasal 14 Undang Undang Nomor 32/2002 menegaskan bahwa RRI adalah Lembaga Penyiaran Publik yang bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayani kebutuhan masyarakat. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 orang terdiri dari unsur publik, pemerintah dan RRI.
Dewan Pengawas yang merupakan wujud representasi dan supervisi publik memilih Dewan Direksi yang berjumlah 5 orang yang bertugas melaksanakan kebijakan penyiaran dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penyiaran. Status sebagai Lembaga Penyiaran Publik juga ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 dan 12 tahun 2005 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang Undang Nomor 32/2002. Sebelum menjadi Lembaga Penyiaran Publik selama hampir 5 tahun sejak tahun 2000, RRI berstatus sebagai Perusahaan Jawatan (Perjan) yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak mencari untung.
Dalam status Perusahaan Jawatan RRI telah menjalankan prinsip-prinsip radio publik yang independen. Perusahaan Jawatan dapat dikatakan sebagai status transisi dari Lembaga Penyiaran Pemerintah menuju Lembaga Penyiaran Publik pada masa reformasi. Perubahan RRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik telah melampaui proses yang cukup panjang seiring semangat demokratisasi media yang berjalan seiring momentum reformasi. Sebelumnya, RRI adalah lembaga penyiaran pemerintah yang merupakan unit kerja Departemen Penerangan.
Fungsi RRI sebagai lembaga penyiaran publik tidak hanya memberikan informasi yang aktual, tepat dan terpercaya, namun juga memberikan nilai-nilai edukatif seperti memberikan porsi pada siaran pendidikan, baik secara instruksional seperti siaran sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah pertama (SMU) dan Universitas Terbuka, juga memberikan pendidikan kepada masyarakat seperti siaran pedesaan, siaran wanita, siaran nelayan dll. Tidak ketinggalan RRI juga menyajikan siaran yang menyajikan nilai seni dan budaya bangsa yang dikemas dalam sajian yang menarik. Hiburan musik dari manca negara pun tersaji apik dalam siaran RRI. Untuk itu pemerintah bertekad untuk menjadikan RRI sebagai lembaga penyiaran publik yang independen, netral, mandiri dan profesional dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melaksanakan kontrol sosial.
2. Mengembangkan jati diri dan budaya bangsa.
3. Memberikan pelayanan informasi pendidikan, dan hiburan kepada semua lapisan masyarakat di seluruh Indonesia
4. Mendukung terwujudnya kerjasama dan saling pengertian dengan negara-negara sahabat khususnya dan dunia internasional pada umumnya
5. Ikut mencerdaskan bangsa dan mendorong terwujudnya masyarakat Informasi
6. Meningkatkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM
7. Merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa
Jangkauan siaran RRI tidak saja di dalam negeri namun juga menembus sampai manca negara yang tersaji dalam Voice Of Indonesia (Siaran Luar Negeri RRI). Radio Republik Indonesia secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945, oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di 6 kota. Rapat utusan dari enam radio di rumah Adang Kadarusman, di Jalan Menteng Dalam Jakarta, menghasilkan keputusan mendirikan Radio Republik Indonesia dengan memilih Dokter Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum yang pertama. Rapat tersebut juga menghasilkan suatu deklarasi yang terkenal dengan sebutan Piagam 11 September 1945, yang berisi 3 butir komitmen tugas dan fungsi RRI yang kemudian dikenal dengan “Tri Prasetya RRI”. Butir Tri Prasetya yang ketiga merefleksikan komitmen RRI untuk bersikap netral tidak memihak kepada salah satu aliran/keyakinan, partai atau golongan. Hal ini memberikan dorongan serta semangat kepada broadcaster RRI pada era Reformasi untuk menjadikan RRI sebagai lembaga penyiaran publik yang independen, netral dan mandiri serta senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Likuidasi Departemen Penerangan oleh Pemerintah Presiden Abdurahman Wahid dijadikan momentum dari sebuah proses perubahan government owned radio ke arah Public Service Boradcasting dengan didasari Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2000, yang ditandatangani Presiden RI tanggal 7 Juni 2000. Pembenahan organisasi dan manajemen dilakukan seiring dengan upaya penyamaan visi (shared vision) di kalangan pegawai RRI yang berjumlah sekitar 8.500 orang yang semula berorientasi sebagai aparat pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas, yang cenderung birokratis. Dewasa ini RRI mempunyai 52 stasiun penyiaran dan stasiun penyiaran khusus yang ditujukan ke Luar Negeri. “Suara Indonesia”. Kecuali di Jakarta, RRI di daerah hampir seluruhnya menyelenggarakan siaran dalam 3 program yaitu Programa Daerah yang melayani segmen masyarakat yang luas sampai pedesaan, Programa Kota (Pro II) yang melayani masyarakat di perkotaan, dan Programa Berita dan Informasi (Pro III) yang menyajikan berita dan informasi (News Chanel) kepada masyarakat luas.
Guna merealisir perubahan status RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang “Khas Indonesia”, RRI telah menjalin kerjasama pelatihan dan seminar mengenai prinsip dan aplikasi radio publik dengan Radio Swedia, IFES dan Internews. RRI juga sudah merintis pemanfaatan multimedia dengan membuka situs www.rri-online.com serta memanfaatkan sarana penyiaran teknologi digital dengan memanfaatkan satelit milik WorldSpace Corporation. Sebagai industri penyiaran , RRI memiliki kesempatan yang sama dengan media penyiaran lainnya mengapreasi semua kekuatan untuk memberikan yang terbaik bagi publik. Keberadaannya sejantung dengan denyut kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Konon tiga minggu sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, yaitu tanggal 26 Juli - 14 Agustus 1945, para Angkasawan Radio yang bekerja di kantor berita Jepang Domei maupun yang bertugas di stasiun radio milik Dai Nippon (Hoso Kyoku), telah memonitor radio-radio luar negeri seperti BBC London, maupun VOA Amerika yang menyiarkan kekalahan tentara Jepang dengan dijatuhkannya bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Adalah Jusuf Ronodipuro yang menjadi pegawai Hoso Kyoku yang memberi tahu kepada Dr. Abdulrachman Saleh bahwa terhitung tanggal 18 Agustus 1945, radio penyiaran Jepang itu sudah tidak mengudara lagi. Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saja timbul niat Pak Karbol (nama julukan Abdulrachman Saleh) membuat radio pemancar sendiri yang akan ditempatkan di bagian Faal Sekolah Tabib Tinggi Jakarta (kemudian menjadi FKUI). Ahirnya kedua orang perintis Radio Republik Indonesia ini berhasil mengudarakan The Voice of Free Indonesia pada tanggal, 22 Agustus 1945. Pada tanggal 11 September 1945 malam hari, bertempat di rumah Adang Kadarusman, Pak Karbol memimpin rapat yang menandai berdirinya Radio Republik Indonesia. Saat itu ditetapkan Tri Prasetya RRI dan semboyan, Sekali di Udara Tetap di Udara. Peserta rapat terdiri dari utusan daerah eks stasiun penyiaran Jepang dan Pak Karbol terpilih sebagai ketua. Belakangan oleh pemerintah berhasil dikuasai kembali gedung eks Hoso Kyoku dan difungsikan menjadi gedung stasiun penyiaran RRI Jakarta. Stasiun ini megudara terus sampai terjadinya Agresi Militer Belanda Pertama tanggal 21 Juli 1947. Sejak itu para pimpinan stasiun siaran Jakarta termasuk Jusuf Ronodipuro ditangkap Belanda. Gedung dan perangkat siarannya masih berfungsi, tetapi dipergunakan sebagai siaran Radio NICA Belanda. Sebagai siaran Nasional, RRI mengudara dari Yogyakarta dan sejumlah stasiun lainnya yang masih berada di bawah wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Jepang bertekuk lutut, dan seluruh jajahan Jepang diserahkan kepada pihak sekutu, termasuk Kepulauan Indonesia, beserta rakyat dan perangkat-perangkat peralatannya diantaranya termasuk alat penyiaran radio. Atas dasar mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh, maka pada tanggal 10 September 1945, para pegawai radio Hoso Kyoku berkumpul di Jakarta untuk merundingkan cara pengambil alihan radio Hoso Kyoku untuk dipersembahkan kepada bangsa Indonesia sebagai alat perjuangan. Pertemuan tersebut tidak membawa hasil karena semua pemancar dan alat-alat penyiaran radio Hoso Kyoku sudah didaftar dan ditangani oleh sekutu (SEAC di Singapura). Pertemuan berikutnya diselenggarakan di kediaman Adang Kadarusman di Menteng, dan tepat pukul 24.00 WIB rapat dibuka oleh Dr. Abdulrachman Saleh, adapun pertemuan tersebut dihadiri antara lain Adang Kadarusman, Sutoyo Surjodipuro, Jusuf Ronodipuro, Sukasmo, Syawal Mochtarudin, M.A. Tjatja (Jakarta), Sjakti Alamsyah, R.A. Darja dan Agus Marah Sutan (Bandung), R.M. Soemarmadi dan Sudomomarto (Yogyakarta), R. Maladi dan Sutardi Hardjolukito (Surakarta), Suhardi dan Harto (Semarang), dan Suhardjo (Purwokerto) Pertemuan tersebut berakhir pagi pukul 06.00 WIB yang membuahkan beberapa keputusan, namun keputusan yang mendasar antara lain : 11 September 1945 ditetapkan sebagai Hari berdirinya Radio Republik Indonesia, Tri Prasetya RRI, sebagai jiwa dan sumpah pegawai RRI kepada Republik Indonesia untuk menjaga RRI sebagai alat perjuangan bangsa, Organisasi semua radio tunduk kepada komando pusat (diketuai Dr. Abdul Rachman Saleh).
Pada perjuangan kemerdekaan jumlah siaran RRI bertambah 29 buah termasuk 8 stasiun yang telah ada (Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang) dan tersebar dibeberapa wilayah. Namun, sebagai akibat dari Agresi Militer Belanda Pertama, jumlah RRI menyusut menjadi 10 studio diantaranya Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, Surabaya, Malang, Blitar, Magelang, Purwokerto dan Pekalongan menggabung di Wonosobo dan Pati. Untuk menghemat peralatan dan tenaga, Stasiun RRI Surabaya, Kediri, dan Malang akhirnya digabungkan menjadi satu dengan nama RRI Jawa Timur berkedudukan di Kediri, sedangkan Blitar dan Jombang dijadikan tempat stasiun relay. Demikian juga RRI Magelang, Purwokerto, Pekalongan disatukan dengan nama RRI Jawa Tengah berkedudukan di Magelang dengan stasiun relay di Wonosobo. Sementara itu Stasiun Nasional RRI Jakarta yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Barat 4 dan 5 pecah dua , karena yang berada di Merdeka Barat Nomor 4 digunakan oleh NICA dan digunakan untuk siaran Radio Resmi Indonesia (RRI) yang ditangani oleh Belanda, sedangkan Nomor 5 digunakan untuk siaran Radio Republik Indonesia (RRI) ditangani oleh bangsa Indonesia. Terjadilah Perang Siaran Udara, satu sisi membawa kepentingan penjajah Belanda sementara satu sisi adalah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan RI. Sampai menjelang 21 Juli 1947 dimana Gubernur Jenderal Van Mook akan mengadakan wawancara pers, para Angkasawan RRI telah menduga bahwa wawancara tersebut mengandung arti tertentu yang merugikan bangsa Indonesia dan ternyata dugaan itu benar. Kepala Studio RRI Nasional Jakarta, Yusuf Ronodipuro tanggal 21 Juli 1947 sore masuk ke studio dan bermalam di sana guna menjaga kemungkinan terjadi sesuatu. Saat itu dalam acara Tanah Air Memanggil, penyiar RRI, Piet De Queljae menutup siarannya denga mengucap “Mudah-mudahan sampai berjumpa lagi, Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Tepat jam 22.30 WIB disaksikan oleh wartawan-wartawan luar negeri Stanly Swinton dari AP, Arnold Bracman dari UP dan Frik Werner dari AFP, Tentara Belanda menyerbu Radio Republik Indonesia di Merdeka Barat No. 5 bersamaan dengan itu pula tentara kolonial Belanda melakukan agresi militer pertama. Yusuf Ronodipuro yang saat itu berada di studio ditangkap dan sejak itu RRI Jakarta tidak mengudara, diganti dengan Radio Resmi Indonesia (RRI) milik Belanda. Meskipun RRI Jakarta diduduki Belanda oleh pasukan NICA, namun RRI Yogyakarta yang pada saat itu Ibukota RI dipindah ke kota tersebut, tetap mengudara. Bahkan di Sumatra lahir studio RRI baru seperti di Kotaraja, Bukittinggi, Padang, Pekanbaru, dan radio-radio gelap lain yang kesemuanya mengumandangkan perjuangan bangsa Indonesia. Saat Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menyerang Yogyakarta secara tiba-tiba dimana perundingan sedang berjalan.
Seluruh Angkasawan RRI yang juga pejuang menyingkir ke daerah-daerah pegunungan. Namun demikian semboyan SEKALI DI UDARA TETAP DI UDARA tetap berkumandang sampai Belanda dan dunia Internasional mengakui Kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal 1 Agustus 1953 RRI ada di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Medang, Kotaraja, Padang, Bukittinggi, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Ambon dan Denpasar, ditambah dengan stasiun-stasiun yang berstatus relay dan juga menyelenggarakan siaran-siaran lokal di Cirebon, Jember, Madiun, dan Ternate. Pada masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, RRI selalu dikonotasikan sebagai corong pemerintah. RRI selalu membuat klarifikasi maupun justifikasi setiap tindakan pemerintah serta kurang menampung aspirasi publik (kurang kritis). Itulah mengapa pada saat itu publik menganggap RRI sebagai corong pemerintah. Pada masa Reformasi, RRI melakukan perubahan mendasar dengan memposisikan diri menjadi radio publik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dengan tidak mengacuhkan kepentingan publik. (Tim EPI/KG. Sumber: Company Profile RRI/Buku 60 Tahun RRI - EDITED)

 
 
  LPP RRI BOGOR WEBSITE'S
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Web Admin : Willem Hetharie - ( +622519991221 )
  Jajak Pendapat
  Live Streaming
RRI Bogor Pro1 (Live)

  Prayer Time
  PEMILU 2009


  Chat With Us

ShoutMix chat widget






Anda pengunjung ke 36026 visitors (75390 hits) di halaman ini
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free